Jumat, 03 Desember 2010

KEHARAMAN MENYENTUH MUSHAf

KEHARAMAN MENYENTUH MUSHAf 
Oleh: Wahyu Abdul Jabar, S.HI (disarikan dari kitab Tafsir Al Ahkam karya Imam Ali Asoboni) 
حرمة مس المصحف
 فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ (75) وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ (76إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80) أَفَبِهَذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ (81) وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ (82) فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ (83) وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ (84) وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ (85) فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ (86) تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (87) 

Artinya : Maka benar benar aku bersumpah dengan tempat turunya(tempat beredarnya) bintang-bintang. dan sesungguhnya itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya ia adalah Al-Quran yang sangat mulia, dalam kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil 'alamiin. Maka Apakah kamu menganggap remeh saja berita (Al-Quran) ini? Dan kamu menjadikan rezki yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakannya. Maka kalau begitu mengapa (tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan, Padahal kamu ketika itu melihat, Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat, Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?
 A. Makna Ijmali 
Dalam ayat tersebut Allah
mengatakan “Maka benar benar aku bersumpah dengan tempat turunya(tempat beredarnya) bintang-bintang”, bahwa yang dimaksud adalah aku bersumpah dengan falak, tempat dan garis edar bintang-bintang. Sumpah disini digunakan untuk menunjukkan besarnya masalah tersebut. Karena didalamnya terkandung bukti-bukti yang agung atas kekuasaan penciptanya. Maka dengan sumpah jelas sekali menunjukkan, bahwa al-Qur’an adalah kitab yang besar, mulia, bukan sihir, bukan buatan dukun, dan bukan yang diada-adakan. Tetapi al-Qur’an adalah berasal dari dzat yang maha bijaksana lagi mah tahu, yang tertulis dalami kitab yang terpelihara di sisi Allah, terjaga dari kebatilan dan terpelihara dari perubahan dan pergantian. Kitab al-Qur’an ini tidak dibawa oleh setan, karena setan tidak bisa menjamahnya. Dia dibawa oleh malaikat yang suci, dan memang tidak layak tersentuh melainkan oleh tangan-tangan suci layaknya malaikat itu, karena dia adalah kalamullah dzat yang maha suci. Untuk itu demi menghormat al-Qur’an itu, selayaknya yang menjamahnya adalah orang yang suci. Kalau begitu, apakah kamu sekalian hai manusia akan mendustakan dan kufur terhadap al-Qur’an ini? Apakah kamu akan menjadikan syukur nikmat itu dalam bentuk mengingkari anugerah Allah yang sangat besar kepadamu itu? Lalu, apa yang hendak kamu lakukan, kalau nyawa itu sudah berada di kerongkonganmu, dan sekarang ini kamu sudah berada dalam persimpangna jalan yang majhul(tidak diketahui)? Mungkinkah kamu bisa kembali ke dunia ataukah bisa menolak adatangnya maut? Bisakah kamu mengembalikan ruh itu kedalam tubuh? Kalau betul kamu tidak akan dihisab, atau seperti yang kamu katakan: tidak ada hisab, tidak ada jaza’, tidak ada kebangkitan dan tidak ada perhimpunan, maka kamu sekarang adalah bebas, tidak terikat dan tidak terhisab untuk itu kembalikanlah ruhmu yang sekarang yang sudah diambang pintu, sebentar lagi dia akan pergi, justru untuk memenuhi panggilan hisab dan jaza’ itu. Kamu sekalian menyaksikan itu semua. Sedang malaikat kami, sangat dekat dengan ruhmu itu, daripada kamu sendiri, tetapi kamu tidak mengetahuinya. Mereka itu menuju ketempat perhitungan besar, sedangkan kamu lunglai, tidak berdaya apa-apa lagi. Disanlah kamu akan menghadapi mahkamah dzat yang maha bijaksana dan kamu akan menerima jaza’.
B. Ahkamu Syari'ah 
1. Apakah sumpah pada ayat diatas adalah sumpah yang hakiki? Dan bagaimana toriqoh (jalan/ cara) sumpah ini?” Dalam hal ini para mufassir berbeda pendapat tentang bagaimana cara memadu (mengumpulkan) antara kalimat “falaa uqsiimu" yang berbentuk nafyul qosam dengan kalimat “wainnahu laqosamun law ta'lamuna 'adim” yang berbentuk isbatul qosam. • Jumhur berpendapat, bahwa kata “laa” adalah zaidah (tambahan) yang memiliki fungsi untuk memperkuat. Seperti firman allah: لئلا يعلمون اهل الكتاب Kata li alla ya'lamuna yang semuula berarti supaya tidak tahu, berubah menjadi supaya tahu, karena kata “laa” disitu ziyadah, yang tidak perlu lagi diartikan. seorang penyair mengatakan تذكرت ليلى فاعترتني صبابة # وكاد نياط القلب لا يتقطع “aku selalu ingat laila, sehinnga kekanak-kanakannya itu memperdaya ku, yang hampir-hampir urat jantungku terputus”. Kata laa yataqotta'u berarti yataqotta'u • Yang lain berpendapat, bahwa “laa” disini adalah “lamul qasam” (lam dengan arti sumpah atau demi) dengan sedikit dipanjangkan fathahnya. Sehingga melahirkan alif. Sama dengan bunyi sebuah syair أعوذ بالله من العقراب Disitu kata “aqrab” ditambah alif, sehingga berbunyi agak panjang “aqraab” padahal seharusnya cukup pendek saja. Maka begitu juga kalimat “laa uqsimu” Tetapi pendapat ini sangat lemah sekali, karena seluruh ahli nahwu (garamatikal bahasa arab) berpendapaat, bahwa apabila fiil itu berdiri sendiri(sendirian) dalam konteks sumpah, maka harus ditambah nun .dibelakangnya (yang selanjutnya disebut nun taukid) misalnya firman Allah: وتاالله لأكيدنّ أصنامكم Oleh karena itu tidak boleh mengatakan لأقسم • Sementara yang lain mengatakan, bahwa (laa) di situ adalah la nafi (laa yang berarti tidak), untuk menafikan sesuatu(kata) yang terbuang(perkataan orang kafiryang menuduh, bahwa al-Qur’an itu adaalah sihir, al-Qur’an itu adalah syair, al-Qur’an itu adalah buatan tukang tenung). Pendapat inipun sangat lemah. Karena seluruh ahli Nahwu berpendapat, bahwa isim dan khabar laa tidak boleh di buang, kecuali kalau merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan. Imam Fakhur Razi berpendapat lain, yang ringkasanya sebagai berikut: Laa tetap berarti nafi, tetapi dalam susunan firman Allah tersebut adalah majaz tarkibi (susunan yang mempunyai ati yang bukan sebenarnya). 
 2. apakah Maksud “Kitabul Maknuun”( kitab yang terpelihara) pada ayat diatas? Dalam hal ini para Ulama Mufassirin berbeda pendapat: • Ada yang pendapat, bahwa yang dimaksud adalah “Lauhul Mahfuzh”. Sedang arti “maknun” yaitu: tertutup dari penglihatan mata, yang hanya diketahui oleh beberapa malaikat saja, seperti jibril dan Mikail. • Sementara yang lain berpendapat, bahwa yang dimaksud bukan Lauhul Mahfuzh akan tetapi yang dimaksud adalah al-Qur'an (mushhaf), dengan pengertian kedua ini, maka arti “maknun’ dalam ayat di atas ialah: terpelihara dari pergantian dan perubahan. Persis dengan apa yang ditegaskan sendiri oleh Allah: انا نحن نزلنا الذكر واناله لحافظون Artinya; Kammilah yang menurunkan al-Qur’an itu dan Kami pula yang menjaganya.(QS. Al-Hijr/15:9). 
3. Apakah Maksud “layamassuhu illa muthharun” ? Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang kembalinya dhamir “hu’ dalam “yamassuhu” itu, apakah kepada al-Qur’an ataukah kepada kitab yang ada di Lauhul Mahfuzd- seperti anggapan sebagian orang. Dan Jika dhamir hu kembali kepada al-Qur’an, maka maksud ayat tersebut adalah : al-Qur’an itu tidak boleh dipegang melainkan oleh orang yang suci dari hadast, besar ataupun kecil. Sedang orang-orang yang mengartikan “kitab” tersebut adalah Lauhhul Mahfuzh, menafsirkan kata “muthahharun” (orang-orang suci )itu, ialah Malaikat. Penafsirannya tersebut diperkuat dengan firman Allah: في صحف مكرمة مرفوعة مطهرة بأيدي سفرة كرام بررة Artinya: Dia itu dalam lembaran-lembaran yang mulia, yang terangkat dan disucikan, yang berada di tangan (Malaikat) yang pulang pergi yang mulia lagi baik. (QS. ‘Abasa 80:13-15). Selanjutnya mereka mengatakan, bahwa ayat ini sama dengan ayat yang di atas. Oleh karena itu maka maksudnya sama, yaitu para malaikat. 
4. Apakah Hukum menyentuh mushaf al-Qur’an ? Al-Qur’an adalah Kitabullah yang suci yang wajib diagungkan dan dihormati. Maka di antara bentuk penghormatannya yaitu tidak menyentuhnya melainkan dalam keadaan suci. Sehingga masalah tidak bolehnya menyentuh mushhaf al-Qur’an bagi orang yang hadast itu, hampir menjadi ijma’ fuqaha’. Sedang bagi fuqaha’ yang membolehkannya itu hanyalah karena dalam keadaan terpaksa, misalnya ketika belajar atau mengajar. Sehingga dengan demikian, setiap orang yang hadast, baik karena junub, haidh, nifas ataupin batal wudhu’nya, diharamkan menyentuh Mush-haf al-Qur’an, karena mereka itu dinilai tidak suci. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah r.a. beralasan, bahwa ayat tersebut menunjukkan suatu hukumm dengan jalan isyarah, yaitu apabila Allah SWT. Telah mengisyratkan, bahwa mush-haf yang suci di langit itu tidak akan tersentuh melainkan oleh malaikat malaikat yang suci, maka mushaf yang di tangan kita (dunia) sekarang ini pun demikian halnya, yaitu tidak (boleh) disentuh melainkan oleh orang yang suci. Pendapat saya (ash-Shabunni): Dalam hal ini, pendapat Ibnu Taimiyah tersebut adalah yang benar yang harus dijunjung tinggi. Dan itu pula yang disepakati para Fuqaha’, yaitu diharamkan menyentuh Mush-haf al-Qur’an tanpa bersuci. Penting Kami berpendapat, bahwa menyentuh mushaf al-Qur’an tanpa bersuci itu hukumnya haram, Yang tidak bisa dibantah lagi. Kalaupun ada perbendaan pendapat dikalangan fuqaha’, itu adalah karena karena dalil yang dipakainya, apakah diambil dari ayat ini ataukah dari dalil lain? Sebagian Ulama berpendapat haram menyentuh al-Qur’an tanpa bersuci itu adalah diambil dari ayat ini sendiri, karena bentuk berita (khabar) dalam ayat tersebut adalah bermakna larangan (nahi). Jadi seolah- olah Allah mengatakan:‘Janganlah kamu menyentuh Al-Qur’an, melainkan jika kamu dalam keadaan bersuci”. Sementara yang lain berpendapat, bahwa hukum menyentuh mushaf al-Qur’an itu berdasar Sunnah nabi SAW., bukan dari ayat itu sendiri. Mereka menyebutkan beberapa segi yang dipandang menguatkan pendapatnya, antara lain: a. Ayat-ayat tersebut di sini, semuanya Makkiyah (turun di Makkah/sebelum Hijrah), dan sebagaimana di maklumi, bahwa ayat-ayat yang turun di Makkah itu lebih banyak di arahkan untuk masalah-masalah aqidah (ushuluddin), bukan furu’. b. Ayat tersebut jelas khabariyah (berita) yang di takwil kepada arti insya’(larangan). Padahal pada asalnya setiap lafal itu haruslah di artikan menurut hakikatnya. c. Kata-kata “muthahharun” itu menunjukkan kepada pendapat kita, bahwa kesuciannya itu adalah dzatiyah (asli) yaitu malaikat. Sedangkan kata-kata "muthataharuna" itu yang berarti orang orang yang kesucianya ada(diperoleh) melalui perbuatanya karena berdasarkan ayat انالله يحب التوابين و يحب المتطهرين Artinya: Sesungguhnya Allah senang kepada orang- orang yang tobat dan orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu, jika Allah menghendaki wajibnya suci maka seharusnya dipakai kata “la yamassuhu illal muthahhirun”. Sunnah dan Atsar/hadist tegas menerangkan diwajibkannyabersuci ketika hendak hendak menyentuh mushaf al-Qur’an antara lain hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ahlus Sunnan, bahwa Nabi saw. Pernah berkirim surat kepada penduduk Yaman, di antara isinya berbunyi: و ألا يمس القران الا طاهر Atas dasar ini, maka jumhur fuqaha’ di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i, berpendapat seperti di atas. Juga beberapa sahabat yang selalu menyuruh anak-anaknyaberwudhu’ ketika hendak menyentuh al-Qur’an. 
5. Apakah Hikmah dari sumpah? Orang-orang Arab biasa mempergunakan sumpah kalau hendak memperkuat omongannya, sedang al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang di antara ayat-ayatnya banyak berisi sumpah dengan berbagai macam variasinya serta seni yang indah, yang semuanya itu memperkuat perkataan. Jadi, yang di maksud dengan sumpah di sini, bukanlah untuk memperkuat dakwaan, sebab dakwan-dakwan itu bisa juga diperkuat dengan dalil-dalil qath’i, melalui hujjah dan bukti. Kemudian yang dituju dalam perkataan tersebut, mungkin mereka yang telah beriman terhadap al-Qur’an dan mungkin juga yang mendustakaanya. Adapun bagi yang telah beriman tidak perlu dengan sumpah, karena dia sendiri telah yakin terhadap apa yang telah disampaikan Allah itu. Sedang pihak yang mendustakan yang justru tidak akan membenarkan ayat-ayat tersebut tanpa sumpah, setelah dalil-dalil yang dikemukakannya itu tidak lagi menyakikannya. Dengan demikian, maka sumpah yang dimaksud adalah demi memperkuat omongan. 
6. Apa saja Macam-macam sumpah dalam al-Qur’an? Di dalam al-Qur’an ada beberapa macam sumpah, yang ada kalanya dari sisi sumpah itu sendiri dan ada kalanya dari sesi sasaran sumpah itu: a. Sumpah dengan dzat Allah sendiri, misalnya: فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ Artinya: Maka demi Tuhan, (yang mengatur) langit dan bumi, sesungguhnya yang di janjikan itu adalah benar (akan terjadi) persis seperti apa yang kamu ucapkan. b. Sumpah dengan nama makhluknya, misalnya: والتين والزيتون Artinya: Demi tin dan Zaitun. c. Sumpah dengan al-Qur’an tetapi dengan menggunakan la annafiyah, seperti tersebut dalam ayat ini, dan dalam beberapa ayat lain, misalnya:   • Artinya: Tidak, Aku bersumpah dengan bintang-bintang yang kelihatan kembali. Ini, dilihat dari segi sumpah. Adapun dilihat dari segi sasarannya sumpah (muqsam ‘alaih), maka dapat berarti sebagai berikut: a. Menerangkan pokok-pokok Iman, misalnya tentang Keesaan Allah SWT., sebagaimana tersebut dalam ayat: وَالصَّافَّاتِ صَفًّا (1) فَالزَّاجِرَاتِ زَجْرًا (2) فَالتَّالِيَاتِ ذِكْرًا (3) إِنَّ إِلَهَكُمْ لَوَاحِدٌ (4) Artinya: Demi (Malaikat) yang berabaris-baris. Demi rombongan yang membaca pelajaran. Sesungguhya Tuhanmu itu Tunggal (Esa). b. Dengan tujuan untuk kepastian kebenaran al-Qur’an, misalnya ayat yang berbunyi: فلا اقسم بمواقع النجوم...انه لقرأن كريم Artinya: Tidak. Aku bersumpah dengan tempat-tempat (letak) bintang ....... Sesungguhnya di itu adalah al-Qur’an (bacaan) yang mulia. c. Untuk menetapkan kenabian, misalnya firman Allah: يس والقران الحكيم ...انك لمن المرسلين Artinya: Yasin. Demi al-Qur’an yang bijaksana................sesungguhnya engkau (muhammad) adalah salah seorang di antar para Rasul. d. Untuk menghilangkan sifat yang tidak baik yang dituduhkan oleh kaum musyrikin terhadap diri Rasulullah SAW.,misalnya firman Allah: ن والقلم ومايسطرون...ما انت بنعمة ربك بمجنون Artinya: Demi pena dan apa yang mereka tulis......Bukanlah engkau (Muhammad) yang memperoleh nikmat Tuhanmuitu sebagai orang gila 7. Apakah boleh Sumpah dengan nama selain Allah ? Para ulama telah sepakat, tentang diharamkannya bersumpah dengan selain asma Allah atau dengan salah satu sifat di antara-sifat-sifatnya. Ini, berdasar sabda Rasululllah SAW.: من كان حالفا فليحلف بالله او فليذر Artinya: Siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan asma Allah atau tinggalkanlah sumpah itu. Larangan sumpah dengan selain asma Allah ini adalah hubungannya dengan makhluk. Adapun dalam hubungannya dengan KhalIik (ALLah SWT), maka dia boleh saja bersumpah dengan nama makhluknya itu, sesuka-Nya. Karena sumpah dengan makhluk berarti menunjukkan kebesaran dan kepentingan sesuatu itu. Sedang Allah SWT. Sendiri telah bersumpah dengan makhluk-Nya dalam beberapa ayat seperti apa yang kita sebutkan diatas, yang berati menunjukkan keagungan dan kehebatan makhluk tersebut sebagai bukti atas kebesaran penciptanya. Rasulullah saw. Juga bersabda: ان الله ينهاكم ان تحلف بابائكم من كان حالفا فليحلف بالله او فليذر Artinya: Sesungguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan (nama) ayah-ayahmu, siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan asma Allah, atau tinggalkanlah sumpahi itu. 
C. KESIMPULAN 
1. Bersumpah dengan bintang-bintang dan falak itu untuk menunjukkan kebesaran Khalik (Sang Penciptanya). Dialah yang mengatur, Yang Maha Bijaksana dan mencipta Alam semesta ini. 
2. Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan syair bukan sihir dan bukan tenung. Tetapi al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh dzat yang Maha Bijaksana (al-Hikam) lagi Maha tahu (al-‘Alim). 
3. Turunnya al-Qur’an tidak dibaawa oleh syetan, tetapi dibawa oleh malaikat yang suci. 
4. Al-Qur’an terjaga dari perubahan dan pergantian dan dari segala bentuk kebathilan, karena Aallah SWT. Sendiri yang menanggung atas pemeliharaannya itu. 
5. Semua nikmat, haruslah diterima dengan syukur dan pujian, bukan dengan kecongkakan, ingkar dan kedustaan. 
6. Seandainya manusia itu tidak di balas lantaran amalnya sendiri, niscaya dia akan mampu menolak kematian 7. Di balik kehidupan dunia ini sudah pasti ada dunia pembalaasan di mana manusia akan menerima hasil amalnya itu. .

1 komentar: