Kamis, 02 Desember 2010

kedudukan hukum hasil ijtihad

ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM HASIL IJTIHAD PRAKODIFIKASI USHUL FIQH
oleh : Wahyu Abdul Jabar, S.HI
Untuk mengetahui kedudukan hukum hasil ijtihad prakodifikasi ushul fiqh, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah seseorang yang melakukan ijtihad mesti benarnya ataukah ia masih bisa salah. Kemudian kalau diangap benar, maka apakah hukum yang diijtihadkan itu harus pula mengikat bagi orang yang lain atau tidak, kemudian apakah bisa dibatalkan oleh hukum lain hasil ijtihad pula, atau tidak. Persoalan-persolan inilah yang akan dibicarakan dalam bab empat ini guna untuk mengetahui kedudukan hukum ijtihad prakodifikasi ushul fiqh.

1. Nilai kebenaran hasil Ijtihad

Persoalan ini berkisar apakah pada tiap-tiap hukum (lazim disebut masalah furu’) terdapat hukum tertentu yang sudah ditetapkan hukumnya oleh tuhan, dan apakah mujtahid bisa menemukan hukum tersebut atau tidak ? jika hukum (furu’) telah ditetapkan oleh tuhan, berarti kebenaran yang sedang dicari oleh para mujtahidin hanya satu, dan yang bisa mencapai kebenaran juga satu. Ataukah pada tiap-tiap peristiwa tersebut tidak ada hukum tertentu dari tuhan, melainkan hukumnya adalah kesimpulan semata-mata dari penelitian yang berijtihad, dan dengan demikian maka tiap-tiap orang yang berijtihad bisa mencapai kebenaran dan kebenaran juga bisa berbilang.
Untuk mengetahui apakah hasil ijtihad itu pasti benar atau bisa salah, kita bisa merujuk kepada asbabun nuzul surat anfal ayat : 67
ما كان لنبي ان يكون له اسري حتى يثخن في الأرض
Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.[1]
Para ulama menyatakan bahwa asbabun nuzul ayat ini adalah masalah tawanan perang badar. Kasus ini muncul waktu menghadapi tawanan perang badar. Pada waktu itu nabi menanyakan pendapat Abu Bakar mengenai tawan perang, sebaiknya diapakan ? kemudian Abu Bakar mengemukakan pendapatnya supaya tawanan perang itu ditahan saja dan tidak dibunuh dengan harapan mereka berguna bagi islam. Lalu Nabi menanyakan pendapat Umar ibn khatab, ia mengemukakan pendapat agar tawanan itu dibunuh saja, karena mungkin akan merugikan islam. Selanjutnya Nabi berpikir untuk mempertimbangkan langkah yang harus diambil, kemudian beliau mengambil kesimpulan untuk menahan saja tawanan tersebut sebagaimana yang disarankan oleh Abu Bakar. Kemudian Allah SWT menegur tindakan Nabi dengan menurunkan surat Anfal ayat 67.[2]
Dari kasus diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa apa yang diperbuat Nabi dalam kasus tersebut semata-mata hasil buah pikiranya sendiri, tidak berdasarkan wahyu dan hasil ijtihad itu tidak pasti betul melainkan bisa saja salah.
Untuk mengetahui apakah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid hanya ada satu, atau bisa juga berbilang, kita bisa melihat pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasa’i[3]. Di masa nabi muhamad SAW masih hidup, pernah ada dua orang Sahabat yang sedang dalam perjalanan, tiba-tiba masuk waktu shalat, sementara mereka tidak menemukan air. karena itu, keduanya shalat dengan tayammum. Tidak lama kemudian keduanya menemukan air. Karena masih dalam waktu shalat, maka salah seorang mengulangi shalatnya dan yang seorang lagi tidak mengulangi, karena ia berpendapat bahwa shalatnya telah sempurna. Sementara yang mengulangi shalatnya beranggapan bahwa meskipun shalatnya sudah dikerjakan dengan sempurna, tentu shalatnya hanya dengan tayammum itu batal, sebab sudah ditemukan air dalam waktu shalat. Ketika keduanya bertemu dengan Rasulullah dan menceritakan peristiwa itu, Rasulullah bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya :
أصبت السنة وأجزأتك صلاتك

"Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunah dan shalatmu sudah memadai".{HR.Abu Dawud}[4]
Kepada yang mengulangi shalatnya,Nabi SAW bersabda :


لك الأجر مرتين
"Untukmu dua pahala".{HR.Abu Daud}[5]
Kasus diatas membuktikan bahwa kebenaran hasil ijtihad itu bisa berbilang tidak tertentu hanya satu.

2. Mengikat Atau Tidaknya Pendapat Hasil Ijtihad


Persoalan ini seputar apakah pendapat yang dihasilkan oleh ijtihad itu mengikat kaum muslimin secara umum, atau kepada orang yang bertanya atau kepada diri orang yang berijtihad itu sendiri. Terhadap kaum muslimin pada umumnya maka pendapat hasil ijtihad tidak mengikat dan tidak mengharuskan orang lain untuk mengikutinya, karena pendapat yang telah diketemukan oleh seseorang masih bisa menjadi obyek ijtihad bagi orang lain pada setiap masa dan setiap lingkungan. Adanya sesuatu ijtihad dalam suatu persoalan tidak menghalang-halangi adanya ijtihad yang lain, sebab pendapat yang diperolehnya hanya didasarkan atas dugaan kuat (dhann), karena tidak diperoleh dari nash yang qat’I atau dari hukum yang sudah diijma’kan, melainkan hanya berdasarkan tanda-tanda yang telah ditentukan oleh syara’ dan yang dipakai sebagai alat pengali. Hasil yang diperolehnya sudah barang tentu dapat berbda-beda menurut perbedaan kempuan orang yang memakainya.[6]
Dalam hubunganya dengan diri orang yang berijtihad itu sendiri, maka pendapat hasil ijtihad mengikat baginya dan ia harus bertindak seuai dengan ketentuanya selama ia masih tetap memegangi hasil ijtihadnya. Karena pendapat tersebut adalah hukum syara’ yang sesuai dengan dugaanya(keyakinanya). Dalam hal ini ia tidak boleh meningalkan pendapatnya tersebut atau mengikuti mujtahid lain yang mempunyai pendapat lain. Hal ini sudah disepakati oleh para fuqoha, karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan atas dugaan kuat sendiri (keyakinan sendiri-sendiri dan oleh karena itu maka tidak ada alasan untuk memenangkan salah satunya[7].
Dalam hubunganya dengan orang lain yang bertanya maka pendapat hasil ijtihad mengikat pula padanya, karena mazhab orang yang bertanya tersebut adalah pegangan orang yang ditanya. Hal ini adalah menurut pendirian yang kuat dari ulama-ulama fiqh[8].

3. Pembatalan Ijtihad[9]

Di atas telah disebutkan bahwa hasil ijtihad hanya mengikat bagi orang yang melakukan ijtihad dan bagi orang yang yang melakukan ijtihad dan bagi orang lain yang bertanya kepadanya, dan pengikatan ini berlaku selama orang yang berijtihad tersebut tidak menarik kembali pendapatnya.
Kalau orang yang berijtihad sendiri yang mengadakan peninjaun dan penetapan pendapat baru yang dipandangnya benar. Maka pendapat baru inilah yang harus dipegangi. jadi kalau menurut ijtihadnya yang pertama, seorang berpendapat bahwa, perkawinan tanpa wali diperbolehkan dimana ia melakukannya, sedang perkawinan tersebut belum mendapat legalisasi dari pengadilan, kemudian berobah berijtihadnya dan berpendapat bahwa perkawinan tanpa wali tidak sah, maka ia harus membatalkan ijtihadnya yang pertama dan memutuskan, untuk kemudian dikawinkan lagi dengan memakai wali. Kalau tidak diputuskan, maka berarti ia terus-menerus bercampur dengan istri dengan menyalahai keyakinan sendiri.











[1] Depag RI, Op.cit, Hal 272
[2] Amir Syarifuddin, opcit, hal 231

[3] Huzaemah Tahido Yanggo,op.cit, hal 23
[4] Imam Abu Daud,op.cit, zus 1,hal 414

[5] Ibid,hal 414
[6] Ahmad Hanafi, MA, opcit, hal 170
[7] Ibid, hal 171
[8] Ibid, hal 171
[9] Ibid, hal 172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar