Selasa, 30 November 2010

Ijtihad prakodifikasi

IJTIHAD PRAKODIFIKASI USHUL FIQH

A. Ijtihad Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Bibit berbagai kaedah dalam mengistimbathkan hukum islam yang menjadi objek ushul fiqh telah muncul sejak zaman Rosulullah SAW., hal ini semakin berkembang ketika Rosulullah SAW. telah wafat dan persoalan hukum semakin kompleks pula, sejalan dengan meluasnya wilayah islam.[1]

Pada masa Nabi Muhammad SAW. tasyri' al-Ahkam terbagi menjadi dua priode, yang masing-masing priode memiliki corak tersendiri, yaitu [2]:
1. Priode Mekah
Priode pertama ialah priode mekah, yakni selama Nabi SAW. menetap dan berkedudukan di mekah, yang lamanya dua belas tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hinga beliau berhijrah ke madinah. Dalam masa itu umat islam masih sedikit dan masih sangat lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai souvereignity (kekuasaan yang kuat). Nabi telah mencurahkan kesunguhannya dalam priode ini untuk menanam dan mengembangkan jiwa tauhid ke dalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan mereka dari penghambaan diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari aneka rupa ganguan bangsanya.

Dalam masa ini belum banyak fakta-fakta yang membangkitkan Nabi SAW. untuk membuat hukum atau undang-undang. Karena itu tidaklah terdapat di dalam surat makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, ar-Radu, Ya Sin, dan al-Furqan. Kebanyakan ayat-ayat makiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, ahlak, dan sejarah.
2. Priode Madinah
Periode kedua adalah priode madinah, yakni masa Nabi SAW. telah berhijrah ke madinah, dan Nabi SAW. menetap di madinah selama sepuluh tahun dari mulai hijrah sampai wafatnya.
Dalam masa inilah ummat islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Mulailah Nabi SAW. membentuk suata masyarakat islam yang mempunyai souvereighty yang gilang gemilang. Karena itulah timbul keperluan untuk mengadakan syariat dan peratuan-peraturan, karena masyarakat membutuhkanya, untuk mengatur perhubungan antara angota masyarakat satu dengan lainnya, baik dalam masa damai maupun masa perang.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan perkembangan syari'at pada priode ini, pertama adalah bahwa syariat diturunkan dalam bentuk global. Kedua dalam kerangka hukum ada yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang dihadapi masyarakat, ada pula yang disyariatkan tanpa didahului pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitanya dengan yang mereka hadapi. Dan ketiga syaria'at turun secara bertahap yang berbentuk dalam dua hal, yaitu tahapan dalam kesatuan hukum, dan tahapan pada suatu perbuatan.[3]
Dalam hubungan inilah disyari'atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, waris, wasiat, jual beli, sewa, hutang piutang,dan semua transaksi-transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum jinayat (kriminal) dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia sebagai individu dan sebagai masyarakat dalam hubunganya dengan masyarakat yang lebih luas, antara seantreo manusia di dunia.
Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat al Baqoroh, Ali Imron, an-Nisa, al Maidah, al Anfal, at Taubah, an Nur, al Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat aqidah, ahlak, sejarah, hukum, dan lain lain.
Kekuasan tasyri'iyah (legislatif) pada masa itu dipegang oleh Nabi SAW. sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihad mencari hukum.
Singkatnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa priode mekah adalah priode revolusi aqidah untuk mengubah sistim kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju pennghambaan kepada Allah SWT. semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social, dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Sedangkan pada priode Madinah biasa disebut dengan priode revolusi sosisl dan politik. Dimana pada priode ini turun ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum syariah dari semua persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadah maupun muamalah.
Pada masa Rosul SAW. perkembangan hukum islam dikenal paling kreatif, karena fleksibel dan sangat adaptif terhadap perkembangan dan perubahan masyarakat ketika itu. Ini menandakan bahwa hukum islam tidaklah kaku dan diterapkan sedimikian rigitnya pada masa awal islam. Sebagaimana pada masa-masa kemudian. Situasi seperti ini tentu saja mengandalkan suatu ruang lingkup yang luas bagi perbedaan pendapat. Disinilah akan tampak bahwa nabi SAW. memberi kesempatan bagi digunakannya nalar dan pikiran sehat dalam situasi dan kondisi tertentu. Hal ini menegaskan bahwa ijtihad sebagai suatu kegiatan penalaran diakui keberadaanya oleh Nabi SAW. sendiri.
Akan tetapi patut diingat bahwa ijtihad pada zaman Nabi SAW., belum dapat dianggap sebagai alat pengali hukum, mengingat ijtihad yang dilakukan para sahabat masih dalam taraf latihan, sementara penentuan akhir dalam masalah-masalah hukum pada waktu itu pada hakikatnya masih tetap berada ditangan Rasullulah . itulah antara lain sebabnya mengapa hasil ijtihad para sahabat yang dibenarkan Nabi SAW., sendiri tidak dinamai hasil ijtihad mereka, akan tetapi disebut sebagai sunah taqririyyah.[4]


B. Ijtihad Pada Masa Sahabat
Pada masa sahabat, wilayah kekuasan islam bertambah luas. seiring dengan ini masalah sosial kemasarakatan tumbuh sangat heterogen, sebagai dampak peleburan etnis dan berbagai macam kebudayaan. Dalam menyelesaikan berbagai masalah yang aktual pada waktu itu, peran ijtihad dirasa sangat penting, karena tanpa ijtihad, akan banyak masalah yang tidak diketahui status hukumnya, sementara wahyu (al-Quran) dan hadis sudah terhenti. Diantara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad sesudah Rosulullah wafat, ialah Abu Bakar, Umar bin Khatob, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Muaz bin Jabal, Ibnu Abas, dan Ibnu Mas'ud[5].
Umar bin khattab dalam berijtihad seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dia tidak sekedar menerapkan nash secara lahir, sementara tujuan hukum tudak tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat yang ditaklukan pasukan islam di suatu daerah, ia menetapkan bahwa tanah di daerah tersebut tidak diambil oleh pasukan islam tetapi dibiarkan digarap oleh penduduk daerah setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen kepada pemerintahan islam, Umar bin khattab berpendapat jika rakyat di daerah tersebut tidak memiliki mata pencaharian yang akibatnya bisa membebani Negara. Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan Umar bin Khatab dalam kasus ini adalah kemaslahatan.[6]
Ali bin Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan cara kias, yaitu mengiaskan hukuman orang yang meminum khamer dengan hukuman orang yang melakukan qadf. Alasanya adalah bahwa seseorang yang yang mabuk karena meminum khamer akan mengigau, dan apabila ia mengigau maka ucapanya tidak bisa dikontrol, sehinga dapat menuduh orang berbuat berzina. Hukuman bagi pelaku qadf adalah delapan puluh kali dera. Oleh sebab itu hukuman bagi orang yang meminum khamer sama dengan hukuman menuduh zina.[7]
Meskipun para Sahabat Nabi SAW. dalam berijtihad dan beristinbath mengunakan cara dan sumber rujukan yang satu, terkadang dalam mengambil putusan hukum suatu kasus bisa berbeda-beda. Misalnya, Abu Bakar berpendapat bahwa kakek bisa menghalangi (menghijab) saudara-saudaranya dari hak waris, dengan alasan bahwa al-Qur'an menamai kakek dengan sebutan ayah[8], seperti tercantum dalam surat yusuf ayat 38 :
واتبعت ملة إبراهم وإسحاق ويعقوب
"Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu ibrahim, Ishak dan Ya'kub.[9]
Tetapi Umar tidak sependapat dengan Abu Bakar, dan berkata "kakek tidak menghalangi saudara-saudara, karena penamaan kakek dengan sebutan ayah adalah majazi".[10]
Perbedaan hasil ijtihad mereka itu terjadi antara lain kerena perbedaan metode ijtihad yang mereka pergunakan disamping latar belakang keilmuan dan oreantasi penalaran yang berlainan. Umar bin Khatob, umpamanya, lebih condong kepada maslahat di samping juga mempergunakan qiyas. Sedangkan Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud keduanya lebih banyak mempergunakan qiyas walaupun kadang-kadang sering juga memakai maslahah ‘ammah.[11]

C. Ijtihad Priode Tabi’in Dan Tabi’tabi’in (Imam –Imam Mazhab)
Setelah berakhir masa Sahabat, muncul masa Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dijadikan suri teladan oleh generasi penerusnya yang tersebar diberbagai daerah wilayah dan kekuasanya islam pada waktu itu. Generasi kedua ini terdiri dari murid-murid para sahabat yang dikenal dengan Tabi’in.
Tabi'in itu, pengertianya secara arti bahasa adalah "pengikut", sedangkan dalam arti yang biasa digunakan adalah "orang-orang yang mengikut Sahabat". Tabi'in ini tidak pernah bertemu dengan Nabi SAW., tetapi mereka bertemu dan mendapati orang-orang yang bertemu dengan Nabi (sahabat).[12]
Pada masa Tabi’in, kegiatan melakukan ijtihad semakin meningkat, tetapi prinsip bermusyawarah dalam menetapkan hukum sudah mulai goyah, karena ulama sudah terpencar keberbagai kota, yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lainya. Pada masa itu kedudukan ijtihad sebagai alat alat pengali hukum islam mendapat posisi kokoh. Para sejarawan menyebut periode tabi’in ini, dengan periode ijtihad dan masa keemasan fiqh islam. Daerah kekuasaan islam semakin meluas pada periode tabi’in ini yang meliputi berbagai lapisan umat dengan aneka macam adapt istiadat, cara hidup dan kepentingan masing-masing, sehinga menimbulkan daerah-daerah local dan regional, yang pada giliranya melahirkan tokoh-tokah besar dengan munculnya mazhab-mazhab.
Dalam berijtihad, para tabi’in mendasarkan pendirian mereka kepada pendapat para sahabat. Mereka memelihara Sunah Rosululah dan pendapat para Sahabat, bahkan mereka berusaha untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para sahabat yang saling bertentangan dalam banyak masalah. Para Tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara [13]:
Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari pendapat Sahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat (kalau pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan al-Qur’an dan Sunah).
Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan Hukum Islam, sesunguhnya secara professional dimulai pada priode ini.
Pada masa tabi’in ada tiga pembagian geografis yang besar dalam dunia islam tempat kegiatan ijtihad yang bebas terjadi, yaitu irak, hijaz, dan Syria. Irak memiliki dua mazhab, yaitu mazhab basroh dan kufah. Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan ijtihad dan fiqh, yaitu madinah dan mekah. Sementara itu mazhab syiria kurang tercatat dalam buku teks (literatur) islam. Meskipun demikian, kecenderungan dari madzhab ini menurut madzhab hasan dapat diketahui secara otoritatif melalui tulisan-tulisan Abu Yusuf. Mesir tidak dimaksudkan kedalam peta madzhab-madzhab hukum masa ini, karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri. sebagian ahli hukum di mesir mengikuti pemikiran madzhab irak dan yang lainya mengikuti madzhab madinah[14].
Setiap kota penting memiliki tokoh mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Fuqoha (ahli-ahli fiqih) yang berasal dari berbagai daerah/ negeri, dalam berijtihad biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para sahabat yang tingal di daerah mereka masing-masing. Fuqoha di madinah cenderung dipengaruhi oleh ijtihad Umar ibn Khathab, Aisyah dan Ibn Umar, yang banyak mengunakan maslahah. Fuqoha di kufah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan pertimbangan Ali bin Abi Tholib dan Abdullah ibn Mas'ud, yang dalam ijtihad pada umumnya mengunakan metode qiyas. Disamping kecenderungan umum tersebut, setiap madzhab mengutip pula pendapat sejumlah sahabat lainya untuk mendukung ijtihad mereka[15].
Hasil yang dicapai oleh ijtihad ulama tabi'in ini, meskipun mereka mengikuti petunjuk dari cara ijtihad ulama sahabat, namun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat, bahkan berbeda dengan apa yang berlaku pada waktu Nabi SAW.. Ali bin Abi Tholib dan sebagian ulama Sahabat menerima kesaksian anak-anak terhadap orang tua dan kesaksian orang tua terhadap anak. Tetapi Qadhi Syureih dan sebagian ulama tabi'in tidak menerima kesaksian seperti itu, karena persaksian tersebut mengandung unsur tuhmah dan kecintaan yang akan mempengaruhi mereka dalam kesaksiannya.[16]
Pada masa tabi'in ini, umat islam sudah terpecah kepada tiga kelompok, yaitu : Khawarij, Syi'ah dan Jumhur Muslimin. Setiap golongan berpegang teguh kepada pendapat masing-masing dan pada umumnya merasa bangga serta berusaha mempertahankanya. Hal ini menimbulkan perbedaan pandangan dalam menetapkan Hukum Islam. Golongan Khwarij, misalnya, mereka berpendapat bahwa orang-orang yang melakukan hukum besar adalah kafir, sementara golongan yang lain tidak berpendapat demikian. Demikian pula halnya golongan Syi'ah dalam menetapkan hukum, mereka berbeda dengan golongan Khwarij; contoh dalam masalah : hadis yang dipegang golongan syi'ah dalam menetapkan hukum adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu al-Bait dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hukum, karena qiyas didasarkan kepada pemikiran manusia[17].
Tegasnya dalam priode ini, perselisihan faham menjadi sangat nyata hinga telah sampai pada derajat salah menyalahkan. Demikian juga sebab-sebab perselisihan itu bertambah banyak. Karena, selain dari sebab- sebab terjadi perselisihan diantara mujtahidin sahabat di periode pertama, timbul lagi beberapa sebab baru, umpamanya : soal ra'yi (qiyas), yang disebabkan oleh salah pengertian terhadap fatwa-fatwa sahabat-sahabat dalam urusan kasus tersebut.[18]
Golongan jumhur menetapkan hukum terbagi dalam dua golongan[19] :
Ahl al-Hadits
golongan ini berkembang di hijaz. Dalam menetapkan hukum, madzhab ini pertama-tama sangat terikat kepada teks-teks al-Qur'an dan Sunah. Bila dalam menetapkan hukum suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam nash al-Qu r'an dan Sunah, mereka berpaling kepada praktek dan pendapat para sahabat. Mereka mengunakan ra'yu hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa. Namun dalam hal-hal yang tidak ditemukan nashnya dan tidak ada pula pendapat serta praktek sahabat, mereka sepakat untuk menggunakan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh aliran ini yang termashur adalah Sa'id ibn al-Musaiyyab al-Mahzumy. Ia diikuti oleh al-Zuhry, al-Tsaury, Malik, Syafi'i, Ahmad ibn Hanbal dan Dawud al-Zhahiry.
Ahl al-Ra'yi
Golongan ini berkembang di kufah (irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini banyak terpengaruh dengan cara berpikir ulama-ulama irak. Mereka mengikuti pola pikir Umar ibn Khathab, Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas'ud. Ketiganya adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. yang banyak mengunakan ra'yu dalam menetapkan hukum. Pola pikir mereka inilah yang dikembangkan oleh al-Qomah ibn Qois, al-Aswad ibn Yazid al-Nakhaiy, Masruq ibn Ajda, Ubaidilah ibn Amar, Syuraikh ibn Harits, Harits al-Qur'an'war dan Abu Hanifah. Dalam menetapkan hukum, madzhab ahli ra'yi ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar, antara lain :
Nash-nash syari'ah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan kepada ra'yu, sesuai dengan ucapan Mu'az bin Jabal ketika diutus ke yaman, bahwa bila ia tidak menemukan nash dari al-Quran dan Sunah, ia akan berijtihad dengan ra'yu (pendapat) nya.
Setiap hukum syara' dikaitkan dengan 'illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang faqih adalah menemukan 'illat ini. Oleh sebab itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena 'illatnya, atau membatalkan berlakunya suatu hukum karena diduga tidak ada 'illatnya.
Dalam asumsi pertama, ijtihad sama dengan ra'yu; dan dalam asumsi kedua, ijtihad sama dengan qiyas. Oleh sebab itu, aliran ini sangat dominan mengunakan ra'yu dengan ijtihad. Oleh karena itu muncul angapan bahwa dalam priode ini terdapat dua aliran yang berbeda secara mencolok, yaitu : aliran pendukung hadits dan menolak ra'yu serta aliran pendukung ra'yu dan menolak hadits. Angapan ini sesungguhnya tidak tepat, karena aliran ahli hadits juga menggunakan ra'yu dalam penalaran mereka, begitu pula halnya aliran Ahli al-Ra'yu juga mengunakan hadits dalam menetapkan hukum. Imam malik meskipun ia seorang ahli hadits, tetapi banyak mengunakan ra'yu dalam kitabnya, al-Muwatha, Imam Syafi'i sesekali mengunakan istilah Ahl al-Ilmi bi al-Hadits wa al-Ra'yi, yang menunjukan perpaduan antara hadits dan ra'yu[20].
Pada generasi Tabi'in dan Imam madzhab ini, nampaknya pertentangan yang tajam antara ahli al-hadits dan ahli al-ra'yi semakin meruncing. hal itu terjadi di masa sesudah Imam Syafi'i, ketika kecenderungan mazhab mengakar kuat pada para pengikut masing masing madzhab. Proses pemisahan secara nyata dimulai pada maa Imam Syafi'i. dalam tulis-tulisanya sering disebut : "madinah sebagai gudangnya sunah" dan "irak sebagai gudangnya Ahli al-Ra'yi". Ia juga sering menyebut orang-orang irak sebagai ahli al-Qiyas, karena seringnya mereka mengunakan ra'yu dan qiyas dalam penalaran. Kadang-kadang, kata Imam Syafi'i, mereka mengkaji suatu hadits dengan dasar nalar (ra'yu). Dari catatan sejarah. Secara umum dapat disimpulkan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya dua aliran tersebut, yaitu[21] :
1. Hadits-hadits Nabi SAW. dan fatwa-fatwa para Sahabat di irak tidak sebanyak di hijaz. Karena itu, fuqoha irak harus memeras otak dan berusaha keras untuk memahami pengertian nash dan 'illat dalam rangka mengambil hukum dari syara', agar pengertian hukum tersebut tidak terbatas hanya yang tertera dalam teksnya saja.
2. Irak merupakan pusat pergolakan politik dan pusat pertahanan syi'ah dan khawarij yang salah satu akibat negatifnya ialah adanya pemalsuan terhadap hadits-hadits Nabi SAW. Oleh sebab itu, fuqoha irak sangat hati-hati dalam menerima hadits. Bila ada hadits yang tidak sesuai dengan maqosid al-syari'ah maka hadits tersebut mereka ta'wilkan atau mereka tingalkan.
3. karena faktor lingkungan hidup yang berbeda. Irak pernah lama dikuasai Persia, sehinga mempengaruhi hubungan keperdataan dan adat kebiasaan orang irak, yang sama sekali tidak dikenal di hijaz. Sementara di hijaz sejak masa Rosullulah, Sahabat, Tabi'in hampir tidak ada perubahan yang berarti, sehinga setiap kejadian hampir ditemukan hukumnya dalam Sunah Nabi SAW. atau fatwa Sahabat dan Tabi'in. Akibat perbedaan ini, lapangan ijtihad di irak semakin luas dan berkembang, sedangkan di hijaz menjadi terbiasa memahami dan menetapkan hukum berdasarkan teks dan nash secara lahiriyah, tanpa susah payah mencari dan mendalami 'illat hukumnya. Faktor-faktor tersebut, juga pada gilirannya mempengaruhi pandangan para imam madzhab dalam menetapkan hukum. Dawud al-Zahiry, umpamanya, memandang tidak sah mengambil hukum islam kecuali dari nash secara tekstual. Sementara itu fuqoha lainya memandang ra'yu sebagai salah satu sumber hukum islam.
Pokok-pokok dasar perbedaan paham mereka dalam garis besarnya ada tiga macam[22] :
1. Dasar (sumber) tasyri'
Dalam hal ini terjadi perselisihan para mujtahid mengenai jalan menerima hadits dan dasar-dasar yang dipergunakan untuk mentarjihkan yang sebagian atas sebagian yang lain.
2. Kecenderungan beristimbathh
Di dalam kalangan ahli ijtihad lahirlah dua kecenderungan dalam berijtihad, yakni : kecenderungan ahli (ulama) hijaz dan kecenderungan ahli (ulama) irak.
3. Prinsip bahasa
Perbedaan paham antara para mujtahid selain karena dasar tasyri' dan kecenderungan mereka, juga karena segi bahasa, misalnya, diantara mereka ada yang berpendapat, bahwa sesuatu nashh itu menetapkan sesuatu hukum pada mantuqnya (yang jelas ditunjuk kata-kata itu) dan menimbulkan kontra hukum pada mafhumnya (pengertian yang diambil dari keseluruhan jumlah kalimat, bukan jelas ditunjukan oleh kata-katanya). Dan diantara mereka ada yang tidak berpendapat demikian.
Perbedaan metode yang di gunakan dalam mengistimbathh hukum, membawa perbedaan pendapat dikalangan para imam madzhab. Dari keanekaragaman pendapat dan perkembangan madzhab yang begitu subur tersebut, suatu hal yang perlu dicatat ialah sportivitas para mujtahid yang begitu tingi dan sikap kebanyakan para penganut madzhab dari masing-masing madzhab yang sangat obyektif. Tanpa mengabaikan kelemahan –kelemahan yang ada, masing masing mujtahid tetap mengakui kelebihan yang satu dengan yang lain dan menyadari kekurangan dirinya masing-masing. Sebagai lustrasi, Imam Syafi'i misalnya, tetap menghormati keistimewaan Imam Abu Hanifah dan keungulan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam bidang tertentu, seperti tercermin dalam ucapanya[23] :
الناس كلهم عيال على أبي حنيفة فى الفقه
Pengetahuan seseorang dalam masalah fiqh sangat butuh kepada fiqh Abu Hanifah.
Di tempat lain Imam Syafi'i juga mengatakan:
جرجت من بغداد فما خلفت بها رجلا أفضل ولا أعلم ولا أفقه من أحمد بن حنبل
Ketika aku keluar dari Baghdad, tidak ada seorangpun yang aku tinggalkan di sana yang lebih utama, lebih alim dan lebih faqih daripada Ahmad ibn Hanbal.
Begitu pula halnya imam ahmad ibn hanbal, ketika ditanya oleh putranya, siapa sebenarnya Imam Syafi'i sehinga ayah selalu mendoakannya sejak empat puluh tahun. ia menjawab :
كَانَ الشافعى كاشمس للدنيا وكالعافية للناس فانظر يابني هل لهذين من خلفَ
Imam Syafi'i adalah bagaikan matahari menerangi dunia dan bagaikan obat membuat manusia sehat alfiat. Oleh sebab itu wahai putraku, lihatlah apakah ada orang yang mengantikan dalam dua hal ini.



[1] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hal 1884
[2] T.M.Hasbi as-Shidiqy, op.cit, hal 34
[3] M.Amin Abdullah, madzhab jogja neo ushul fiqh menuju ijtihad kontekstual, Fakultas Syariah Press, Jogjakarta, 2004, hal 41
[4] Muhammad Amin Suma, ijtihad ibn tamiyyah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002, hal 76
[5] Huzaemah Tahindo yanggo, op.cit, hal 28
[6] Abdul Azis Dahlan,0p.cit, hal 1882
[7] Ibid, hal 1882
[8] Muhammad Ali as-Saayis, pertumbuhan dan perkembangan hukum fiqh, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 40
[9] Depag RI, op.cit, hal 354
[10] Muhammad Ali as-Saayis, op.cit, hal 41
[11] Muhammad Abu Zahroh, op.cit., hal 17-18
[12] Amir syarifuddin, op.cit, jilid II, hal 245
[13] Huzaemah Tahindo Yanggo, op.cit, hal 30
[14] Huzaemah Tahindo Yanggo, op.cit, hal 31
[15] Ibid, hal 31
[16] Amir Syarifuddin, op.cit, hal 246
[17] Huzaemah Tahindo Yanggo, op.cit, hal 32
[18] T.M.Hasbi ash-Shidieqy, 0pcit, hal 74
[19] Huzaemah Tahindo yanggo, op.cit, hal33
[20] Ibid, hal 34
[21] Ibid, hal 36
[22] T.M.Hasbi ash-Shidieqy, op.cit, hal 68
[23] Huzaemah Tahindo Yanggo, op.cit, hal38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar