Selasa, 30 November 2010

Hakekat Ijtihad

IJTIHAD

A. Definisi Ijtihad
Ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa arab "jahada". bentuk kata masdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya, yaitu[1] :
jahdun dengan arti kesunguhan atau sepenuh hati atau serius. Contoh dapat kita temukan dalam surat al-An'am ayat 109
واقسموا با لله جهد أيمانهم
“Mereka bersumpah dengan allah sesunguh-sunguhnya supah”.[2]
Juhdun dengan arti kesangupan atau keampuan yang didalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah. Contohnya firman Allah surat at-Taubah ayat 79
والذين لايجدون الا جهدهم فيسخرون منهم
“Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kesangupanya, maka orang munafik itu menghina mereka”.[3]

Pengubahan kata dari ja ha da menjadi ijtihada dengan cara menambahkan dua huruf, yaitu "alif" di awalnya dan "ta" antara huruf "jim" dan "ha", mengandung enam maksud, salah satu diantaranya adalah untuk mubalaghah, yang berarti "sangat". Bila kata ja ha da dihubungkan dengan dua bentuk masdarnya tersebut, pengertianya berarti "kesangupan yang sangat" atau "kesunguhan yang sangat"[4].
Jadi, secara bahasa ijtihad adalah berusaha atau berupaya dengan sunguh-sunguh. Dalam al-Qur'an, kata "jahdu" dapat ditemukan pada tiga tepat. Pada ketiga tempat itu, kata tersebut mengandung arti mencurahkan keampuan atau upaya sunguh-sunguh[5]. Arti demikian dapat ditemukan dalam surah al-An'am
واقسموا با لله جهد أيمانهم
“Mereka bersumpah dengan allah sesunguh-sunguhnya supah”.[6]
Sedangkan pengertian ijtihad secara istilah sudah banyak dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh, yang mana pengertian satu sama lainya tidak mengandung perbedaan pengertian yang perinsip, bahkan kelihatan saling saling menguatkan dan menyempurnakan. Diantara definisi tersebut adalah[7] :
Menurut Imam al-Ghazali, ijtihad adalah :
بذل المجتهد وسعة فى طلب العلم باحكام الشرعية
“Pengerahan kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hukum syara'”
Menurut asy-Syaukani dalam karyanya Irsyad al-Fukhul, ijtahad adalah
بذل الوسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريق الإستنباط
“Pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara' yang bersifat operasional, amali melalui upaya istinbath (pengalian hukum)”
Menurut Asy-Syatibi, ijtihad adalah
الإجتهاد هو إستفراغ الجهد وبذل غاية الوسع فى ادراك الاحكام الشرعية
“Ijtihad adalah pengerahan kesunguhan dengan usaha yang optimal dalam mengali hukum syara'”
Menurut Saifuddin al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam, ijtihad adalah
استفراغ الوسع فى طلب الظن بشيء من الاحكام الشرعية بحيث يحسى من النفس العجز عن المزيد فيه
“Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara' dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat berbuat lebih dari itu”
Dengan menganalisa definisi diatas dan bembandingkanya dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut[8]:
Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal
Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu dibidang keilmuan yang disebut faqih
Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara' yang bersifat amaliah
Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath
Jadi, ijtihad adalah berusaha bersunguh-sunguh dengan mempergunakan segala daya dan dana untuk mempelajari hukum islam dari sumbernya yang asli, yaitu al-Qur'an dan Hadist Rosulullah kemudian melahirkan hukum baru darinya. Dari definisi yang disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa ijtihad mengandung dua faktor utama, yaitu[9] :
Pertama, Ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hukum dan penjelasanya. Ini adalah ijtihad yang sempurna dan dikhususkan bagi ulama yang ingin mengetahui hukum-hukum furu' amaliyah dengan mengunakan dalil-dalil secara terperinci. Menurut jumhur ulama bahwa ijtihad dalam pengertian dan bentuk yang khusus ini pada suatu masa kemungkinan akan terputus. Sedangkan ulama Hanbali mengatakan bahwa setiap masa tidak boleh kosong dari ijtihad dalam bentuk ini. Karena itu, pada setiap masa harus selalu ada mujtahid yang mencapai tingkatan tersebut.
Kedua, ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh ulama sepakat bahwa sepanjang masa tidak akan terjadi kekosongan dari mujtahid katagori ini. mereka inilah yang akan mencari dan menetapkan 'illat terhadap berbagai kasus juz'iyah, dengan menerapkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh ulama terdahulu.
B. Dasar Ijtihad
Manusia secara kodrati mumpunyai jasmani dan rohani. Badan rohaniah itu berfungsi untuk memahami apa yang dilihat oleh manusia, apa yang dialami oleh akal pikiran yang sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam jagat raya ini. Sekalipun tidak ada petunjuk dari agama sehinga dengan akal itu manusia dapat memperoleh kebahagian hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya. Dari sifat kodrati manusia itu sendiri dalam perjuagan kehidupan yang kebahagian lahir batin dari dunia sampai akhirat, ijtihad dapat diangap suatu kebutuhan pokok bagi setiap insan, sedangkan kebahagian lahir batin dan ketentraman hidup yang dituntut itu adalah berdasarkan hukum syara'. Oleh karena itu untuk memahami ketentuan-ketentuan hukum syara' itu ijtihad merupakan kebutuhan utama[10].
Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat al-Qur'an dan hadits Nabi SAW., yang nash-nashnya memerintahkan untuk mengunakan pikiran dan akal serta mengambil I'tibar (pelajaran)[11], antara lain :
Dari al-Qur'an
Dasar hukum ijtihad dalam al-Qur'an antara lain :
إن في ذللك لآيات لقوم يتفكرون
“Sesunguhnya pada yang demikian ini terdapat tanda-tanda(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.[12]
فإن تنازعتم في شيء فردوه الي الله والرسول
“Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, kembalikanlah pada Allah dan Rosul”.[13]
فاعتبروايا أولى الأبصار

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.[14]
إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله
“Sesunguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.[15](Q.S.an-Nisa :105)
Dari Hadits
Dasar hukum berijtihad yang terdapat dalam Hadits, antara lain :
عن معاذ بن جبل قال قال رسول الله صلى عليه وسلم:كيف إذاعرض لك قضاء؟قال:أقضي بكتاب الله قال:فإلم تجد في كتابالله؟قال فبسنة رسول الله قال فإلم تجد في سنة رسول الله ولا في كتاب الله؟ قال أجتهد رأي ولا آلو.فضرب رسول الله صلي عليه وسلم بيده على صدره,وقال الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله
“Dari mu'az bin jabal yang berkata bahwa Rosullulah SAW.. bersabda,"bagaimana upaya kamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang doajukan kepadamu?"mu'az menjawab,"aku akan putuskan berdasarkan kitabullah(al-Qur'an)."kemudian nabi bertanya lagi,"bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalilnya al-qur'an?"mu'az menjawab, "akan aku selesaikan berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam sunah rosullah".kemudian rosullulah bertanya lagi, "bagaimana seandainya kamu tidak mendapati dalam al-qur'an dan as-sunah untuk menyelesaikanya?" mu'az menjawab, "aku akan berijtihad dengan mengunakan rasioku dan aku akan berhati-hati". Kemudian rosulluh menepuk dada mu'az, sambil bersabda, "segala puji bagi allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta rosul-nya terhadap apa yang direstui rosullah”[16].(H.R.Abu Daud)

عن عمروبن العاص رضى الله عنه انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول اذا حكم الحاكم فاجتحد ثم أصاب فله أجران واذا حكم فاجتحد ثم أخطأ فله أجر
"Dari amr ibn ash ra, ia mendengar rosul allah SAW.. bersabda, apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum kemudian ai berijtihad. dan ternyata ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila ia hendak menetapkan hukum kemudian ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah maka ia mendapatkan satu pahala"[17].(H.R.Muslim)
Dari dua hadits diatas, nampak jelas, bahwa ijtihad dilegalisasi oleh Rosulluh SAW. untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum islam, bila tidak ditemukan didalam al-Qur'an dan Sunah hukum dari kasus yang aktual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah. Hadits diatas juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu berijtihad untuk melakukan ijtihad. Kalau ijtihadnya itu benar menurut pandangan Allah, akan diberi dua pahala dan kalau keliru akan diberi satu pahala[18].
C. Ruang lingkup Ijtihad
Lapangan ijtihad terdapat dalam dua keadaan, yaitu[19] :
Tidak ada nas tertulis
Contoh dari tidak ada nas tertulis adalah seperti dua orang Sahabat dalam berpergian ingin salat tidak ada air mereka bertayamum. Kemudian bertemu air masih dalam zuhur, yang satu shalat lagi setelah berwudu sedangkan yang lain tidak mengulangi salatnya.
Tertulis tapi tidak jelas
Ada tertulis tetapi tidak jelas dapat dibedakan dalam dua keadaan, mana yang dianggap jelas dan mana yang dianggap tidak jelas, yaitu :qoti' dan zhonni. Qoti' adalah jelas keadannya apabila mempunyai dua sifat, yang pertama keadaan yang merupakan sumber resmi, dan arti berkenaan dengan bahasa. Sedangkan zhanni adalah suatu hukum di dalam al-Qur'an yang dapat berubah apabila ada kesepakatan antara dua pihak yang terkait dalam suatu masalah, khususnya dalam bidang muamalah.
Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam al-Qur'an maupun hadits Nabi. Hal ini sejalan dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog antara Nabi dengan Mu'adz bin Jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari al-Qur'an dan hadits. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam al-Qur'an dan Hadits.
Sedangkan ruang lingkup ijtihad secara rinci adalah sebagai berikut :[20]
Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang zhanni, baik dari segi wurud-nya, maupun dari segi pengertiannya (dalalahnya) yaitu hadits ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan pensahihannya serta hubungannya dengan hukum yang tidak dicari itu.
Hukum yang dibawa oleh nash qath'I, tetapi dalalahnya zhanni, maka obyek ijtihadnya hanya dari segi dalalahnya saja.
Nash yang wurudnya zhanni, tetapi dalalahnya qath'I, maka obyek ijtihadnya adalah pada sanad, kesahihan serta kesinabunganya.
Tidak ada nash dan ijama', maka disini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap metode dan cara.
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa ijtihad dalam ruang dan jangkaunya mengenai materi-materi hukum jinayat, adalah sangat luas. Dalam praktenya dimungkingkan adanya lebih dari satu interpretasi. Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fih maksudnya menampung terjadinya perbedaan pendapat dikalangan mujtahid. Dengan demikian, dimungkinkan adanya variasi dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang bersifat qath'iyah.
Oleh karena itu, tidak semua lapangan hukum islam bisa menjadi pokok ijtihad, melainkan beberapa lapangan tertentu. Lapangan yang tidak boleh menjadi obyek ijtihad ialah :[21]
Hukum yang dibawa oleh nash qat'I baik kedudukanya maupun pengertian, atau dibawa oleh hadits mutawatir, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, haramnya riba dan makan harta orang. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu dari syara' yang dibawa oleh hadits mutawatir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti bilangan raka'at shalat, cara-cara melakukan haji, dan sebagainya.
Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nash, dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati (diijma'kan) oleh para mujtahid dari sesuatu masa, seperti pemberian warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya perkawinan yang dilakukan antara wanita islam dengan orang lelaki bukan muslimin.

D. Hukum Ijtihad
Dalam kedudukannya sebagai faqih yang pendapatnya akan diikuti dan diamalkan oleh orang lain yang meminta fatwa tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung pada kondisi mujtahid dan umat disekitarnya. Yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini ialah hukum orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadh'I. karena yang berwenang melakukan ijtihad adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih.[22]
Adapun hukum berijtihad terkait dengan hal dimaksud diatas adalah ada empat, yaitu[23] :
Wajib 'ain
Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib 'ain
Wajib kifayah
Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia adalah satu-satunya faqih ketika itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang faqih. Maka hukum berijtihad ketika itu adalah wajib kifayah. Hal ini berarti bahwa untuk menetapkan hukum suatu kasus tersebut telah ada seorang faqih yang tampil untuk berijtihad maka faqih yang lain terbebas dari kewajiban berijtihad, namun bila tidak ada seorang faqih-pun yang berijtihad, sehinga hukumnya luput, maka semua faqih yang ada disitu berdosa, karena meningalkan kewajiban kifayah.
Sunah
Bila keadaan yang dinyatakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad dalam hal ini hukumnya sunah, artinya tidak berdosa faqih tersebut bila tidak melakukan ijtihad, namun bila ia berijtihad akan lebih baik.
Mubah
Dalam menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyatan atau belum terjadi, dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nash al-Qur'an maupun Sunah, sedangkan orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang, maka dalam hal ini hukum berijtihad bagi seorang faqih hukumnya mubah atau boleh.
haram
berijtihad yang dihukumi haram adalah untuk kasus yang tekah ada hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qothi' atau orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya berijtihad dalam hal ini adalah pertama karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih dan qothi yang mengaturnya, kedua karena orang yang berijtihad tidak/ belum memenuhi syarat yang dituntut untuk proses ijtihad.


E. Syarat-syarat menjadi mujtahid
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum islam tidak berarti bahwa setiap orang bisa melakukan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang memiliki syarat-syarat tertentu saja yang boleh melakukan ijtihad, Syarat-syarat tersebut adalah :
Menguasai Bahasa Arab[24]
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa seorang mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa arab, karena al-Qur'an diturunkan sebagai sumber syari'at dalam bahasa arab. Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Qur'an, juga tersusun dalam bahasa arab. Imam Ghazali memberikan kriteria penguasaan bahasa arab oleh seorang mujtahid, dengan mengatakan : seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa arab dikalangan mereka. Sehinga ia dapat membedakan ucapan yang sharih, zhahir, dan mujmal, hakikat, dan majaz, memisahkan antara yang ‘am dan khos, antara yang muhkam dan mutasabih, mutlaq dan muqoyat, nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman. Kreteria yang menjadi persyaratan seperti itu tidak dapat dipenuhi kecuali oleh seorang yang tingkat kemampuan berbahasa arabnya sudah sampai pada derajat ijtihad.
Dapat dilihat bahwa Imam Ghazali mensyaratkan seorang mujtahid harus luas dan mendalam penguasaan dalam ilmu bahasa sehinga sampai tingkat ijtihad, yang menyamai tingkat pemahaman orang arab sendiri. Memang tidak perlu setiap orang arab itu mengerti secara mendalam tentang bahasa arab dan akan mengunakan hal-hal yang rumit. Begitu juga dengan mujtahid bahasa arab dan mujtahid dalam bidang hukum fiqh, tidaklah diharuskan menguasai seluruh perbendaharaan kata dan uslub-uslub (ungkapanya) serta perbandingan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dapat dikuasai oleh seseorang. Tetapi seorang mujtahid hendaknya jangan sampai tidak mengetahui rahasia-rahasia bahasa arab secara umum, karena hukum-hukum yang menjadi garapan pengaliannya itu tersimpan dalam sebuah kitab yang paling sempurna bahasanya dan paling tingi balagah (sastra)nya. Karena itu, orang yang akan mengali hukum-hukumnya harus mengetahui rahasia balagah agar bisa menangkap apa yang terkandung didalamnya.
Karena, sesunguhnya kemampuan seseorang yang hendak mengali hukum dari nash-nash fiqhiyah itu ditentukan oleh kadar kemampuan pemahamannya terhadap rahasia dan rumitnya bahasa arab. Terhadap kualifikasi kemampuan pemahaman bahasa arab ini, Imam Syatibi membuat kualifikasi orang yang menggali hukum sebagai berikut :" seseorang yang dalam tingkat pemula (mubtadi') dalam memahami bahasa arab, maka ia juga pemula dalam syariah, orang yang menengah (mutawassith) dalam bahasa arab begitu juga dalam syari'ah. Orang dalam tingkat mutawassith berarti belum mencapai tingkat puncak. Kalau seseorang sudah sampai tingkat puncak (nihayah) dalam bahasa arab, maka demikian juga dalam syari'ah. Pemahamaan orang demikian juga bisa dijadikan hujjah, sebagaimana pemahaman para sahabat dan para ahli bahasa terhadap al-Qur'an. Orang yang belum mencapai tingkat demikian, pemahamannya terhadap syari'ah juga kurang dan tidak menjadi hujjah serta tidak diterima pendapatnya.[25]
Mempunyai pengetahuan tentang al-Qur'an[26]
Maksudnya haruslah mengetahui hukum-hukum syar'iyyah yang terdapat pada al-Qur'an dan ayat-ayat yang menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-cara mengambil dan memetik hukum dari ayat-ayatnya. Sekiranya suatu kasus disodorkan kepadanya, maka ia dengan mudah menghadirkan segala sesuatu yang berkenaan dengan topik kasus itu dari ayat-ayat ahkam dalam al-Qur'an, sebab-sebab turunya masing-masing ayat itu yang shahih, dan sunah yang dapat menafsirkan dan mentakwilkanya. Berdasarkan inilah ia mengistimbathkan hukum kasus itu.
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur'an tidaklah banyak. Sebagian mufassir telah mengkhususkan dengan suatu tafsir yang khusus. Dan mungkin sekali menghimpun berbagai ayat yang berkaitan satu topik dengan topik lainya, sehinga orang dengan mudah kembali pada kumpulan ayat-ayat al-Qur'an yang menghimpun hukum-hukum mengenai thalak, segala ayat yang mengandung hukum perkawinan, dalam hal warisan, dalam hal hukuman, dan dalam bidang muamalah, serta lainya dari macam-macam al-Qur'an. Dan dengan mudah pula bersama masing-masing ayat disebutkan hadits-hadits shahih mengenai sebab turunnya (asbabun nuzul), dan hadits yang menjelaskan kemujmalan ayat maupun maupun atsar yang menafsirkannya. Dengan demikian, maka kompilasi perundang-undangan dalam al-Qur'an mudah dirujuk ketika diperlukan, dan mudah pula diadakan perbandingan antara satu topik dengan topik lainnya, serta dapat dipahami masing-masing materi berdasarkan seluruh topiknya.
Mengetahui sunnah (hadits)[27]
Syarat ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama, bahwa seorang mujtahid harus mengerti betul tentang Sunnah, baik qauliyah, fi'iliyah maupun taqririyah, minimal pada setiap pokok masalah (bidang) menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi pembidanganya. Menurut pendapat yang menolak adanya pembidangan dalam ijtihad, maka seorang mujtahid harus menguasai seluruh Sunah yang mengandung hukum taklifi, dengan memahami isinya serta menangkap maksud hadits dan kondisi yang melatarbelakangi datangnya suatu hadits. Mujtahid juga harus mengetahui nasakh dalam mansukh sunah, 'am dan khashnya, mutlaq dan muqoyyanya, takhsis dari yang umum. Demikian juga harus mengerti alur riwayat dan sanad hadits, kekuatan perawi hadits, dalam arti mengetahui sifat dan keadaan perawi hadits yang menyampaikan hadits-hadits Rasulullah.
Usaha yang pernah dilakukan para ulama terdahulu untuk tujuan ini sunguh luar biasa besarnya, seperti telah ditulisnya beberapa kitab yang memuat sejarah para perawi hadits, kekuatan riwayat masing-masing, juga tentang derajat dan kedhbitan (kekuatan hafalan) mereka. Begitu juga adanya para penyeleksi dan penggumpul hadits-hadits shahih yang diungulkan kebenaran subernya kepada Rasullulah, serta para pensyarah yang menilai setiap hadits dan perbedaan pendapat antara kalangan ahli fiqh. Himpunan hadits-hadits shahih telah disusun secara sistimatis mengikuti sistimatika kitab-kitab fiqh. Hadits tentang ibadat misalnya, disusun sendiri dengan bagian-bagiannya secara terpisah, begitujuga masalah akad dan juga lain-lain. Kumpulan, serial, dan tiap-tiap bagianya telah dibukukan sendiri-sendiri. Begitu juga hadits telah disusun dengan jilid-jilid tertentu yang masing-masing memuat bidang bahasan tertentu.
Dengan adanya usaha menghimpun hadits semacam ini, maka sangat mudah bagi seorang mujtahid untuk merujuknya dan mengali hukum dari sunah. Tetapi seorang mujtahid harus mempelajari hadits-hadits secara mendalam, sehinga mengetahui nasakh dan mansukh suatu hadits sampai pada suatu yang dibutuhkan untuk menetapkan suatu hukum.
Mujtahid tidak disyaratkan harus hafal hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum, tetapi cukuplah dengan mengetahui tempat dan cara mendapatkanya dengan cepat dan tepat. Disamping itu ia harus mengerti tentang perawi dan riwayat hidupnya walau secara umum.
Mengetahui tentang segi-segi qiyas[28]
Mujtahid harus mengetahui segi-segi Qiyas, misalnya ia mengetahui tentang 'illat, dan hikmah pembentukan hukum yang karenanya hukum disyari'atkan, mengenai jalur-jalur yang dipersiapkan oleh Syar'i untuk mengetahui 'illat hukumnya. Ia juga harus mengetahui terhadap berbagai hal ihwal manusia dan muamalah mereka, sehinga ia dapat mengetahui suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya. Ia juga harus mengetahui tentang kemaslahatan manusia dan adat istiadat mereka, serta sesuatu yang menjadi perantara kepada kebaikan dan keburukan mereka, sehinga apabila ia tidak menemukan jalan dalam qiyas untuk mengetahi hukum kasus itu, maka ia dapat menepuh jalan lain dari berbagai jalan yang telah dipersiapkan oleh syariat islam untuk sampai kepada istimbath hukum mengenai sesuatu yang tidak ada nashnya.
Pengetahuan tentang qiyas demikian memerlukan mujtahid mengetahui tiga hal :[29]
Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta 'illatnya untuk dapat menghubungkan dengan furu' (cabang).
Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batasan-batasanya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat 'illat sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu'.
Mengetahui methode yang digunakan oleh para ulama salaf yang shalih dalam mengetahui 'illat-'illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan pengalian hukum fiqh.

Mengetahui pertentangan nash[30]
Pandai menghadapi nash-nash yang berlawanan, kadang-kadang dalam satu persoalan terdapat beberapa (ketentuan) yang berlawanan. Nash-nash yang berlawanan tersebut adakalanya dapat diketahui sejarah dikeluarkanya dan adakalanya tidak diketahui. Kalau dapat diketahui, maka nash yang datang belakangan membatalkan nash yang dikeluarkan dahulu. Kalau tidak diketahui sejarahnya, maka pertama-tama diusahakan pemaduan antara keduanya, kalau tidak bisa maka harus diadakan mentarjihan terhadap salah satunya, artinya dicari mana yang lebih kuat dari semua seginya, menurut cara-cara yang banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul fiqh.
Mengetahui maksud-maksud hukum[31]
Sudah dimaklumi bahwa hukum dalam syari'at islam itu diaksudkan dan bertujuan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Dan memang itulah maksud dari risalah Muhammad SAW. sebagaimana telah difirmankan Allah dalam surat al-Anbiya, ayat 107 :
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين
"dan tidaklah kami utus kamu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk sekalian alam".[32]
Sebagai realisasi dari rahmat itu, maka syariah islam haruslah mampu menjaga/ memelihara kemaslahatan manusia yang tiga tingkatan, yaitu :
a. Dharuriyyat (kebutuhan primer)
b. Hajiyyat (kebutuhan sekunder)
c. Tahsinat (kebutuhan tersier)
Sebagai contoh adalah menghilangkan kesulitan dan mencegah kesempitan, memilih yang mudah dan meningalkan yang sukar. Sesunguhnya jika ada sesuatu dianggap sukar (masyaqqot) dalam tuntutan syari'at islam, maka hal itu tidaklah dimaksudkan untuk dijalankan terus menerus. Dan masyaqqot tersebut disyari'atkan untuk menolak datangnya madharat yang lebih besar, seperti perang dijalan Allah, adalah untuk menolak kerusakan. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-Hajj : 40
ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات وساجد يذكر فيها اسم الله ثيرا لينصرن الله من ينصره إن الله لقوي عزيز
"dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Allah, sunguh Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)nya. Sesunguhnya Allah maha kuat lagi maha perkasa".[33]
Seorang mujtahid dan orang yang berkiprah dalam ruang ijtihad haruslah mengetahui kemaslahatan manusia, agar mampu menerapkan qiyas dan bentuk hukum yang sesuai dengan kebutuhan manusia. Hal itu bila dia termasuk orang yang membatasi istinbath hukum yang rasional hanya melalui qiyas. Sedang bagi orang yang lebih memperluasnya dengan dalil maslahah mursalah atau dalil Istihsan seperti kalangan malikiyah, maka kemaslahatan manusia merupakan dasar yang sudah menjadi ketetapan.
Agar fatwa seorang mujtahid benar-benar bisa menyentuh pada kemaslahatan, maka ia harus mengetahui pula maslahah haqiqiyah (maslahah yang real, nyata) dan maslahah wahmiyah (maslahah yang imajinatif yang muncul dari keinginan hawa nafsu). Begitu juga dia harus mengetahui kenyatan yang obyektif dalam mempertimbangkan antara maslahat dan madharat, dan mendahulukan menolak madharat harus didahulukan dari pada menarik maslahat, manfaat kepada umum (kolektif) harus didahulukan atas manfaat kepada perorangan (individual). Demikianlah prinsip-prinsip dalam madharat dan manfaat dalam ijtihad yang harus diketahui oleh mujtahid.
F. Tingkatan Mujtahid[34]
Ulama ahli ushul fiqh membagi ahli fiqh menjadi tujuh tingkatan. Empat tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk kedalam kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid. Di bawah ini diuraikan masing-masing tingkatan itu secara berurutan serta kedudukanya dalam "fatwa".
1. Mujtahid Mustaqil
Tingkatan pertama adalah mujtahid mustaqil, untuk mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh persyaratan ijtihad yang telah disebutkan dimuka. Ulama pada tingkatan inilah yang mempunyai otoritas mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Qur'an dan sunah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, menerapkan dalil istihsan dan berpendapat dengan dasar sadduz dzara'i. Dengan kata lain, mereka berwenang menggunakan seluruh metode istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman, tidak mengekor kepada mujtahid lain. Mereka merumuskan metedologi ijtihadnya sendiri dan menerapkannya pada masalah-masalah furu' (cabang). Pendapatnya kemudian disebarluaskan ketengah masyarakat. Termasuk dalam kategori mujtahid ini, adalah seluruh fuqoha Sahabat, fuqoha Tabi'in, semisal Sa'id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha'iy, dan fuqoha mujtahid seperti Ja'far ash-Shadiq dan ayahnya, Muhammad al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad, al-Auza'iy, al-Laits bin saad, sufyan ats-Tsaury, Abu Tsaur dan masih banyak lagi. Meski mazhab mereka tidak terhimpun dalam sebuh karangan kitab, namun di celah-celah kitab yang menguraikan perbedan pendapat fuqoha sering ditemukan pendapat-pendapat mereka dinukil dengan riwayat yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Masih diperselisihkan apakah Abu Yusuf, Muhammad, Zufar serta murid-murid Abu Hanifah yang lain tergolong kedalam kelompok tingkatan mujtahid mustaqil diatas.
2. Mujtahid Muntasib[35]
Tingkatan kedua adalah tingkatan mujtahid muntasib. Mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil/ memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang (furu'), meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Karena di antara keduanya ada hubungan persahabatan cukup kental. Ibnu Abidin berpendapat : termasuk dalam level ini, adalah murid-murid Abu Hanifah. Pendapat Ibnu Abidin ini masih perlu dipertimbangkan kembali, karena Abu Yusuf lebih banyak mengunakan Hadits dan sedikit mengunakan qiyas, sehinga tidak bisa digolongkan telah menyamai Abu Hanifah.
Setelah periode imam madzhab sampai beberapa priode, tak pernah kosong suatu masa dari golongan mujtahid muntasib yang terikat pada sistim ijtihad imamnya secara global, tetapi tidak terikat pada masalah furu'. Dengan demikian jelaslah kiranya, bahwa tingkatan ini (mujtahid muntasib) hanya terikat pada sistem ijtihad imamnya. Ia punya otoritas untuk mengkaji masalah furu' yang sudah pernah dikaji oleh imamnya. Bisa saja hasil ijtihadnya sejalan atau berlawanan dengan hasil ijtihad imamnya. Selain itu ia, ia juga punya otoritas untuk berijtihad terhadap masalah-masalah baru yang belum pernah dijumpai oleh imamnya.
3. Mujtahid Madzhab[36]
Tingkatan ketiga adalah mujtahid madzhab. Mereka mengikuti imamnya baik dalam ushul maupun furu' yang telah jadi. Peranan mereka terbatas hanya melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Menurud Madzhab Maliky, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan 'illat-'illat fiqhy yang telah digali oleh para pendahulunya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai dimasa lampau. Mujtahid dalam tingkatan ini tidak berhak dalam melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai pada masa lampau. Mujtahid dalam tingkatan ini tidak berhak dalam melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapanya di dalam madzhabnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Yaitu, dalam hal istinbath ulama terdahulu (sabiqun) didasarkan pada pertimbangan yang sudah tidak relevan lagi dengan tradisi dan kondisi masyarakat dari ulama mutaakhirin. Sekiranya ulama sabiqun itu menyaksikan kenyataan yang disaksikan ulama sekarang, niscaya akan mencabut pendapatnya itu.
Fungsi dan peran mujtahid madzhab pada hakekatnya meliputi dua hal, yakni :
a. Secara murni mengambil kaedah-kaedah yang telah dipakai para imam pendahulunya, serta semua kaedah fiqhiyah yang bersifat umum yang terumuskan dari 'illat-illat qiyas yang telah digali oleh imam-imam besar tersebut.
b.Menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaedah-kaedah tersebut.
Tingkatan inilah yang melahirkan "al-Fiqh al-Madzhaby" (aliran fiqh) dan meletakkan asas-asas bagi perkembangan madzhab-madzhab, serta mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip dari madzhab-madzhab tersebut. Mujtahid-mujtahid pada tingkatan ini pula yang meletakkan asas-asas tarjih dan muqayasah (perbandingan) di antara pendapat ulama guna menilai shahih atau dha'ifnya suatu pendapat. Dari tingkatan ini pula dapat dibedakan karakter fiqh yang ada pada masing-masing madzhab.
4. Mujtahid Murajjih[37]
Tingkatan keempat adalah mujtahid murajih. Mereka tidak melakukan istinbath terhadap hukum-hukum furu' yang belum sempat ditetapkan oleh ulama terdahulu dan belum diketahui hukumnya. Yang mereka lakukan hanyalah mentarjih (mengunggulkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imam dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan diatasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain karena dipandang kuat dalilnya atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu atau karena alas an-alasan lain, sepanjang tidak termasuk ke dalam kategori melakukan kegiatan istinbath baru yang independent ataupun mengikuti metode istinbath imamnya.
Perbedaan antara tingkatan ini dan tingkatan diatasnya, sesungguhnya tidak begitu jelas. Sebagian ahli ushul bahkan menggabunkan dua tingkatan ini menjadi satu tingkatan. Hal ini tidak terlalu jauh menyimpang. Sebab kegiatan mentarjih pendapat-pendapat ulama sesuai dengan ushulnya tidak jauh berbeda dari kegiatan istinbath terhadap hukum-hukum furu' yang belum pernah dikaji oleh imam-imam madzhab.
5. Mujtahid Muwazin[38]
Tingkatan kelima yang disebutkan oleh Ibnu Abidin adalah tingkatan mujtahid muwazin, yang membanding-bandigkan antara beberapa pendapat dan riwayat, yang mereka lakukan, misalnya, menetapkan qiyas yang dipakai dalam pendapat ini lebih mengena disbanding pengunaan qiyas pada pendapat yang lain. Atau, pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat dalilnya. Jadi, sebenarnya perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan diatasnya tidak begitu jelas betul. Agar pembagian tingkatan mujtahid dapat dibedakan dengan jelas, tidak tumpang tindih, maka sebaiknya dibuang satu tingkatan dari tiga tingkatan yang dituturkan oleh Ibnu Abidin tersebut, yaitu tingkatan ketiga, keempat dan kelima, lalu digabungkan menjadi dua tingkatan sebagai berikut :
a. Tingkatan mukharrij, yaitu mujtahid yang menelorkan ketetapan hukum terhadap masalah-masalah yang belum mendapat perhatian pembahasan dari para perintis madzhab dengan mendasarkan kepada kaedah-kaedah dari madzhab tersebut.
b.Tingkatan murajjih, yaitu mujtahid yang bertindak mentarjih diantara beberapa riwayat dan pendapat yang berbeda-beda. Hasilnya, dapat diketahui riwayat yang paling kuat dan pendapat yang paling shahih, atau paling dekat kepada sunah atau qiyas yang shahih, atau yang lebih besar manfaatnya untuk kepentingan masyarakat luas.
6. Tingkatan Muhafizh[39]
Tingkatan muhafizh tergolong tingkatan muqallid, hanya saja mereka mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu. Tentang tingkatan muhafizh ini, Ibnu Abidin yang bermadzhab hanafi mengatakan : mereka adalah yang mampu membedakan antara pendapat yang terkuat, yang kuat, yang dha'if, riwayat yang zhahir, madzhab yang zhahir, riwayat yang nadir (langka).
Dengan demikian, tugas mereka bukanya melakukan tarjih, akan tetapi mengetahui pendapat yang diungulkan beserta urutan tingkatan tarjih sesuai dengan hasil garapan mujtahid murajjih. Dengan mengenali hasil tarjih dari mujtahid-mujtahid murajjih, mujtahid muhafizh dapat memberikan penilain diantara mereka. Sebagai gambaran, misalnya, sebagian mujtahid murajjih menggulkan suatu pendapat, sementara sebagian yang lain tidak menggungulkannya. Maka dalam hal ini, mujtahid muhafizh dapat mengambil salah satu pendapat mujtahid murajjih yang dipandang paling kuat dari tarjihnya dan yang paling banyak berpegang pada ushul madzhab, atau mengambil pendapat mayoritas murajjih, atau mengambil pendapat murajjih yang paling banyak mengunakan hujjah dalam madzhabnya disbanding murajjih lain. Mujtahid muhafidz mempunyai hak/ wewenang mengeluarkan fatwa sebagaimana ulama pada tingkatan diatasnya, akan tetapi hanya dalam lingkup terbatas.
7. Muqallid[40]
Tingkatan muqallid ini berada di bawah semua tingkatan yang telah diuraikan diatas. Mereka adalah ulama yang mampu memahami kitab-kitab, tetapi tidak mampu melakukan tarjih terhadap beberapa pendapat atau riwayat. Tingkat keilmuanya belum cukup mendukung untuk bisa mentarjih pendapat mujtahid murajjih dan menentukan tingkatan tarjih. Dalam bahasa Ibnu Abidin mereka tidak bisa membedakan antara kurus dan gemuk, antara kiri dan kanan,mereka hanya menghimpun apa saja yang didapatnya. Tak ubahnya seperti pencari kayu dimalam hari. Golongan sebagaimana yang diutarakan Ibnu Abidin (muqallid) cukup besar jumlahnya pada masa-masa belakangan. Mereka menerima ibarat yang terdapat dalam kitab-kitab sebagaiman adanya dan tidak mampu mengklasifikasikan dalil-dalil, pendapat-pendapat maupun riwayat-riwayat.



[1]Amir Syarifuddin, ushul fiqh, PT Logos Wacana Ilmu, ciputat, hal 223
[2] Depag RI, op.cit,.hal 205
[3] Ibid, hal 292
[4]Amir Syarifuddin, op.cit, hal 224
[5]Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, opcit, hal 110
[6] Depag RI, opcit, hal 205
[7] M.Abdul Mujieb,dkk, opcit, hal 110-111
[8]Amir Syarifuddin, op.cit, hal 226
[9]Muhammad Abu Zahro, ushul fiqh, Darul fikr arobi, 1958, hal 567
[10] Moh.Idris Ramulyo, Asas-asas hokum islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 101
[11] Huzaemah Tahindo Yanggo, op.cit, hal 3
[12] Depag RI, op.cit, hal 644
[13] Ibid, hal 128
[14]Ibid, hal 915
[15] Ibid, hal 139
[16]Abi Daud, op.cit, juz 9, hal 489
[17]Imam Muslim, op.cit, juz 9, hal 114
[18]Huzaemah Tahindo yanggo, op.cit, hal 6
[19] Moh.Idris Ramulyo, op.cit, hal 111
[20] Huzaemah Tahindo Yanggo, op.cit, hal 7
[21] T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, pengantar hukum islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
[22]Amir Syarifuddin, op.cit, hal 226
[23]Ardla'ah Ahmad,Ushul fiqh "seputar ijtihad dan mujtahid", mimeo, hal 12-14
[24] Muhammad Abu Zahro, op.cit, hal 380
[25] Abu Ishaq Al-Syatibi Ibrahim bin Musa al-Lakhami al-Gharnati al-Maliki, muwafaqot,Darur Kitab Ilmiyah, Lebanon, 2005, jilid 4, hal 114
[26] Abdul Wahab Kholaf, op.cit, hal 218

[27] Muhammad Abu Zahro, op.cit, hal 383
[28] Abdul Wahab Kholaf, op.cit, hal 219
[29] Muhammad Abu Zahro, op.cit, hal 385
[30] A.Hanafi, pengantar dan sejarah huku islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hal 167
[31] Muhammad Abu Zahro, op.cit, hal 386
[32] Depag RI, op.cit, hal 508
[33] Depag RI, op.cit, hal 518
[34] Muhammad Abu Zahro, op.cit, hal 389
[35] Ibid, hal393
[36] Ibid, hal 395
[37] Ibid, hal 396
[38] Ibid, hal 396
[39] Ibid, hal 397
[40] Ibid, hal 398

1 komentar: